Seni Ukir Jepara Terancam Punah, Pj. Bupati Jepara Serukan Pentingnya Regenerasi Pengukir

Jepara-Infomuria.com-Terletak sekitar 5,5 kilometer dari selatan pusat kota Jepara, terdapat papan bertuliskan ”Kampoeng Sembada Ukir” tepatnya berada di tikungan Jalan Raya Jepara-Bugel menuju Desa Petekeyan. Dari Sabtu hingga Kamis akan tersuguhkan pemandangan para perempuan mengukir dan terlihat ramainya aktivitas produksi mebel. Sementara pada Jumat, mereka libur. Desa ini dikenal sebagai sentra mebel minimalis di Kabupaten Jepara.

Tampak sebuah teras rumah yang digunakan menjadi ruang kerja setiap hari, terdapat meja panjang tempat mengukir dan sebuah kursi. Terlihat tumpukan lembaran-lembaran kayu yang siap diukir, ukuran kayu itu bervariasi dan relatif tipis, kurang dari setengah meter dengan panjang kurang lebih 30 sentimeter dan lebar 20 sentimeter. Lis (40), perempuan asal Desa Petekeyan, Kecamatan Tahunan, Kabupaten Jepara sambil ditemani alunan musik dangdut di radionya mengayunkan palu khusus ukirnya yang beradu dengan pahatnya penuh dengan semangat.

Ukiran sederhana berbentuk bunga pada lembaran kayu itu masih tahap proses ia selesaikan. Tampak ia memilah-milah alat ukir yang pas yang banyak ragam jenis dan fungsinya itu, jumlahnya sekitar belasan. Alat ukir yang disebut ‘tatah’ itu menjadi ‘senjata’ untuk membuat kayu-kayu itu disulap dengan tangan terampilnya menjadi nilai karya seni ukir estetik yang mendunia.
“Keahlian mengukir sudah saya tekuni sejak lulus di bangku sekolah dasar, awalnya setiap pulang sekolah kala itu diajari sama Ibu yang dulunya juga sebagai pengukir,” ujar Lis.

Lis merupakan salah satu pengukir perempuan di Desa Petekeyan yang sudah lama menekuni ukir sejak lulus dari bangku sekolah dasar. Di desa Petekeyan, aktivitas mengukir banyak dilakukan oleh ibu-ibu, sementara laki-lakinya banyak yang bekerja sebagai tukang kayu. Ukiran-ukiran yang dikerjakan Lis saat ini adalah ukiran biasa yang tidak terlalu rumit seperti halnya pada mebel-mebel dahulu. Sekarang dia banyak mengerjakan permintaan ukir untuk pelengkap produk mebel minimalis.

Tenaga ukir di desa tersebut tak mengenal gaji bulanan, pasalnya mereka menerima upah atau gaji di setiap minggunya, tepatnya setiap kamis. Sehingga muncul istilah “kemisan” yang merupakan waktu untuk memberikan garapan atau hasil pekerjaan kepada bosnya dan selanjutnya akan diberikan upah. Jumat mereka libur dan pekerjaan dimulai Sabtu. Lis bercerita, saat ini upah yang diterima setiap minggunya tidak sebanyak dulu, hal ini disebabkan kondisi mebel saat ini penjualannya sedang menurun.
“Sekarang kondisi mebel agak sepi, jadi garapan ukiran yang saya terima juga relatif tidak sebanyak seperti dulu, kemisannya ya pasti lebih sedikit. Tapi alhamdulillah masih ada sih dan cukup lah untuk menambah biaya hidup sehari-harinya,” kata dia.

Dulu, saat ramai pesanan, pendapatannya berkisar Rp 400.000 sampai Rp500.000 per pekan. Namun, melihat kondisi saat ini yang tak menentu dan terbilang sepi membuat pendapatan juga menurun. Per pekan untuk saat ini, Lis hanya mengantongi sekitar Rp.200.000.

Memilih Bertahan

Sekitar dua ratus meter dari rumah Lis, Sri Bathi (32) perempuan yang juga warga Petekeyan dan seorang ibu yang telah memiliki dua anak telah menekuni ukir sejak ia lulus SMA. Meskipun penghasilannya kecil, tetapi bagi dia ini adalah sebuah pilihan sebab dia lebih fleksibel dalam mengurus rumah tangga dan mengurus anak setiap harinya. “Saya dulu lulus SMA ya belajar mengukir, Waktu saya muda, dulu perempuan memang banyak yang mengukir, ada juga yang bekerja sebagai tukang amplas,” kata Sri Bathi.

Melihat kondisi saat ini, bagi dia banyak yang seusianya meninggalkan pekerjaan mengukir. Hal ini disebabkan anggapan pekerjaan tersebut tidak bisa diandalkan untuk pemasukan setiap harinya karena saat ini mebel sedang sepi dan pekerja ukir perempuan banyak yang memilih bekerja di pabrik garmen yang menurutnya lebih bisa diandalkan karena setiap bulannya pasti mendapatkan upah yang pasti.

Senada dengan alasan yang diungkapkan Sri Bathi, Sofiatun (40) juga sama terkait alasannya ia masih menekuni ukir. Selain dia bisa lebih leluasa dalam membagi waktu terutama dalam hal mengurus rumah tangga, ia pun mengaku sekarang ini garapan ukirannya juga tidak terlalu rumit. “Bisa lebih santai setiap harinya, sambil mengurus rumah tangga seperti disambi masak dan lainnya juga bisa,” tutur dia.

Selain untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, Lis, Sri Bathi, dan Sofiatun juga sejatinya tengah menjaga warisan budaya ukir Jepara. Terlebih sekitar sepuluh tahun terakhir ini, seiring masuknya penanaman modal asing, tumbuh berkembang industri, seperti garmen di Jepara. Minat anak muda pada ukir pun teralihkan.

Mereka tetap berharap ukir Jepara tidak punah meski tergerus perkembangan zaman. ”Bagaimanapun, tradisi ini sudah turun-temurun, ukir Jepara harus tetap dilestarikan ,” kata Sri Bathi.

Kendati zaman banyak berubah, Lis yakin generasi penerus ukir Jepara, khususnya di Petekeyan, tidak akan hilang, ia pun kalau misalnya diminta untuk mengajari generasi muda mengukir pun siap. ”Memang sekarang sudah banyak berkurang. Tapi, generasi penerus yang tetap mengukir juga banyak. Saya yakin tidak akan musnah dan kalau diminta untuk mengajari pun saya siap,” ucapnya.

Berharap Peran Pemerintah

Rohim (49), seorang pengukir dari Petekeyan meminta peran pemerintah untuk mengambil kebijakan pada pelestarian ukir di Jepara khususnya untuk generasi muda. Ia melihat kondisi saat ini banyak generasi muda kurang minat dan enggan belajar dalam hal mengukir. “Saat ini generasi muda kurang tertarik untuk belajar mengukir, banyak mereka yang beranggapan pekerjaan mengukir itu tidak cukup untuk memenuhi penghasilan,” katanya.

Keprihatinan ini dirasakan olehnya saat ia mengajarkan esktrakurikuler mengukir di salah satu sekolah. Ia pun bercerita, mengajar mengukir harus penuh dengan kesabaran terutama mengajari anak-anak sekarang. Pria yang menekuni profesi ukir yang juga berhasil menyabet juara dalam lomba ukir yang digelar oleh Pemkab Jepara pada tahun 2022 silam ini berharap pemerintah dengan serius menyikapi permasalahan regenerasi pengukir seperti dengan mendorong sekolah untuk memasukkan mata pelajaran kurikulum muatan lokal seni ukir.

Penjabat Bupati Jepara Edy Supriyanta pun menegaskan, dirinya mendorong penuh regenerasi pengukir dan terus mendorong generasi muda meneruskan kerajinan seni ukir. Sebab, kian tahun minat masyarakat utamanya generasi muda untuk meneruskan seni ukir semakin berkurang. Dia berharap nantinya ada roadmap ukir sebagai upaya untuk mendongkrak kembali seni ukir di Jepara.

Pemerintah Kabupaten Jepara pun sudah mengambil langkah terkait hal ini, di antaranya adalah menggelar pameran produk mebel Jepara berskala internasional, memberikan beasiswa kepada siswa dengan tujuan mendukung regenerasi pengukir muda masa depan yang unggul dan kompetitif serta menggelar festival ukir dan kompetisi lomba ukir. Selain itu, Pemkab Jepara tengah menyiapkan materi ajar seni ukir sebagai kurikulum muatan lokal pada jenjang Sekolah Menengah Pertama di Jepara.

Petekeyan sebagai desa wisata berbasis ekonomi kreatif dan dikenal dengan jargon “Kampoeng Sembada Ukir” akan terus melestarikan potensi ukir dan industri mebel di Jepara. Hal itu dikatakan oleh Rohman, Petinggi Petekeyan. “Pemerintah desa Petekeyan melakukan upaya di antaranya adalah melaksanakan edukasi ukir melalui karang taruna yang bekerja sama dengan lembaga pendidikan, selain itu juga menawarkan program paket eduwisata yang di ditawarkan kelompok sadar wisata (Pokdarwis) Petekeyan,” tuturnya.

Dirinya berharap, pemerintah dan pemangku kepentingan terkait agar terus bekerja sama dalam memerhatikan regenerasi pengukir yang kondisinya saat ini perlu diperhatikan. Hal ini semata-mata agar Jepara tetap harum dan menjadi kiblat ukir dunia. “Julukan the world carving center harus digelorakan kembali ke penjuru dunia,” kata Rohman.

Sumber : Humas Pemkab