Dalam pewayangan dikenal tokoh raksasa yang berjuluk Dasamuka. Disebut Dasamuka karena ia memiliki sepuluh wajah. Karakter inilah yang coba didiskusikan saat digelarnya Suluk Maleman pada Sabtu (18/11) malam di Rumah Adab Indonesia Mulia. Para hadirin diajak belajar mengenali dirinya melalui tokoh tersebut.
Dr Abdul Jalil, yang menjadi salah satu pembicara, menceritakan bahwa sosok Dasamuka terlahir sebagai buah dari godaan saat resi Wisrawa dan Dewi Sukesi belajar tentang Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu.
“Padahal Sastra Jendra menjadi kitab tuntunan agar bisa selamat di dunia. Namun ditengah-tengah belajar kitab tersebut justru muncul godaan. Dari sini saja kita sudah harus belajar bahwa untuk berbuat baik dibutuhkan proses dan akan selalu ada tantangannya,” terangnya.
“Jadi persoalan utama yang harus kita hadapi adalah, bagaimana kita mengeluarkan sifat iblis, diruwat keluar hingga yang masuk sastra jendra ditengahnya hayuningrat, sehingga dunia bisa lebih baik,” imbuhnya.
Dalam kitab Nashaihul Ibad karya Syaikh Nawawi Al Bantani, disebut adanya tiga kategori akhlak buruk. Sepertiganya berasal dari kegagalan memahami diri. Baik menghargai diri terlalu tinggi maupun terlalu rendah. Penghargaan terlalu tinggi menyebabkan sombong, tak mau diingatkan sedangkan terlalu rendah menjadi tidak percaya diri dan minder.
Sepertiga lainnya disebabkan oleh perilaku jelek kepada orang lain bahkan hingga melukainya. Seperti hasud, ghibah, mencuri dan lain sebagainya. Sementara sepertiga lainnya berhubungan dengan Tuhan.
“Kalau dilihat lagi, dari 17 karakter negatif yang disebutkan, 15 diantaranya berhubungan dengan orang lain, satu dengan diri sendiri dan satu lagi dengan Tuhan. Ini sejajar dengan bangunan karakter Dasamuka; yang menggambarkan bahwa delapan karakter wajahnya berkait dengan hubungannya dengan orang lain,” tambahnya.
Anis Sholeh Ba’asyin budayawan yang juga penggagas Suluk Maleman mengaku sengaja membuat pelesetan “Dosamuka” sebagai tema di episode 143 tersebut. Hal itu dipilih lantaran sekarang ini banyak situasi yang seringkali memaksa berbuat kesalahan tanpa disadari.
“Terutama di momen pemilu seperti sekarang ini, di mana setiap pihak mencoba menampilkan beragam citranya yang pasti baik-baik dan indah-indah saja. Citra yang membuat kita mudah terjerumus tanpa memahami kesejatiannya,” jelasnya.
Dia mengatakan manusia tentunya butuh interaksi; karena hanya dengan mengenal orang lain, kita bisa mengenali diri sendiri. Hanya saja dalam berinteraksi itu pulalah seringkali muncul persoalan-persoalan baru yang bisa mengacaukan pembentukan kepribadian kita.
“Persoalannya,” demikian jelas Anis, “kalau semua orang bermain drama, bagaimana bisa mengantarkan kita pada kesejatian, pada kebenaran? Padahal kita tumbuh dari bercermin pada orang lain,” tambahnya.
Menurut Anis, di sinilah salah satu makna penting taqwa. Taqwa adalah sikap hati-hati dan waspada; terutama hati-hati dan waspada terhadap diri sendiri.
“Kita selalu mengira kepribadian kita utuh dengan wajah tunggal, padahal sebenarnya terbelah-belah dan memunculkan banyak wajah dalam pergaulan. Kita hanya munafik saja untuk mengakuinya,’ sambungnya.
Oleh karenanya dia kembali mengingatkan di momen pemilihan umum seperti sekarang ini, untuk tidak mudah mencaci maki atau menjelek-jelekkan pihak lain. Baik diucapkan secara langsung, lewat perbuatan maupun saat dilakukan di media sosial.
“Kalau suka dipilih, kalau tidak tak usah menjelek-jelekkan. Kita hanya harus waspada saja, karena seperti kita sendiri, semua yang ditampilkan itu masih ragam wajah yang dicitrakan, belum bisa kita kenali sejatinya,” tambahnya.
Topik itupun dirasakan begitu menggelitik oleh ratusan hadirin yang datang secara langsung maupun menyaksikan lewat berbagai kanal media sosial seperti Youtube. Meski begitu suasana diskusi tetap hangat dengan iringan dari musik Sampak GusUran.
Keterangan foto: Anis Sholeh Ba’asyin dan Dr. Abdul Jalil dalam Ngaji NgAllah Suluk Maleman ‘Dosamuka’ yang digelar Sabtu (19/11) kemarin.