Pentas Teater Keset ‘Wek-Wek’, Kritik Sosial dan Humor yang Menghibur

Pembukaan pementasan Teater Keset dibuka dengan acara pertunjukan puisi karya Pipiek Isfianti yang diiringi musik Keset Kustik. Kemudian pementasan Retno Kencono Arum Tsurayya yang menghadirkan banyak penonton dari kalangan usia.

Pementasan dunia yang penuh dengan tipu daya. Siapapun bisa ditipu dan tertipu. Bahkan seorang penipu pun seringkali tertipu, bahkan seringkali oleh dirinya sendiri. Gambaran seperti itu dapat dibaca dalam naskah lakon “Wek-Wek” karya Anton Chekhov.

Keempat karakter yang digambarkan dalam naskah, disesuaikan dengan peran pewayangan, memainkan adegan demi adegan yang penuh sindiran.

Adegan diawali dengan kemunculan Petruk (diperankan oleh Syamgatet), seorang anak desa lugu yang dipekerjakan oleh Bagong (HanipB2) untuk merawat bebek dan membagi keuntungan dari telurnya.

Sayangnya semua bebek berjenis kelamin betina.

Petruk yang merasa “dikhianati” dengan perjanjian kerja sama tersebut, memerintahkan rencana jahat untuk mencuri dua ekor bebek dengan berpura-pura tertabrak sepeda motor.

Bagong yang tidak percaya berbicara dengan Semar (Edisu), kepala desa yang dianggap bijaksana. Petruk kemudian bertemu dengan Gareng (Yakiniku) yang berprofesi sebagai pengacara. Mereka bekerja sama dan menyiapkan rencana “licik” untuk memenangkan kasus tersebut.

Adegan sidang teatrikal bergerak cepat dan kocak hingga Gareng memenangkan persidangan dan Petruk mendapat kompensasi dari Bagong. Bahkan sebelum uang dibagikan, Petruk sudah mengambil ganti rugi karena Gareng lalai.

Sekali lagi kita dihadapkan pada adegan terakhir yang paling menyindir: Petruk, orang termiskin, paling lugu dan paling bodoh, berhasil menipu dan memperdaya Bagong, pengusaha sukses, Semar, hakim yang bijaksana, dan Gareng, pengacara terpelajar.

Pertunjukan Teater Keset yang berdurasi sekitar satu jam ini berlangsung pada hari Sabtu tanggal 07 Oktober di Margoyoso Jepara.

Menurut sutradara Syamsu, adaptasi karya Anton Chekhov ini masih layak untuk dipentaskan.

“Sebagai contoh dan tentunya sebagai kritik terhadap perilaku kita. Menariknya, adegan-adegan di fase ini penuh dengan dialog dan adegan tertawa terbahak-bahak. Seolah-olah penonton sedang mengolok-olok sifat jeleknya sendiri. »